Rabu, 08 November 2017

Azan

Pemuda itu duduk terpaku di dalam kelas. Tangan kanannya menggenggam surat peringatan dan tangan kirinya menggenggam tas plastik berisi uang sepuluh ribuan dan beberapa uang receh. Hasil kerja keras membanting tulang sebagai buruh tani, menanam, mencangkul, lelah, berkeringat, berjemur. Masih belum cukup juga.
Untuk ketiga kalinya diminggu ini dia menerima surat yang sama. semuanya Berisi peringatan agar segera melunaskan uang SPP. Pandangannya kosong. Jauh didalam sana, di hati yang paling dalam berkobar api semangat belajar yang seakan mulai redup perlahan diterpa angin kenyataan. Kenyataan di Negara yang katanya sudah merdeka sejak 70 tahun lalu.  masih saja ada rakyat yang berjuang melawan kerasnya hidup demi pendidikan. Amanat Negara bahwa semua warga Negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, masih jauh dari kenyataan.
Lonceng berdering. Sebuah SMA yang terletak di ujung desa yang tidak terdapat dipeta versi manapun, mendadak ramai dengan puluhan siswa-siswi yang keluar dari kelas.
“Azan!” teriak seorang anak muda yang berbadan tegap dan berperawakan sangar kepada seorang anak muda lain yang berjalan tak jauh darinya.
Azan menoleh. Sesaat kemudian dia segera membalikkan wajahnya dan langsung melangkah cepat kearah gerbang sekolah. Tanpa menoleh lagi kebelakang dia semakin mempercepat langkahnya. Anak yang memanggilnya tadi adalah Wanto. Teman sekelas Azan, Preman sekolah sekaligus murid paling setia alias tidak naik kelas, tiga kali berturut-turut. Berbagai macam julukan disematkan di belakang namanya. Yang paling sering dipakai adalah Destroyer.
Belum hilang memar dipipi Azan Hadiah pemberian wanto karena Azan tidak memberinya jawaban saat ujian fisika minggu lalu. Sebagai seorang siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu (penghalusan kata miskin), Azan selalu mendapat ejekan dari teman-temannya.
*
Dibesarkan oleh ibunya sejak kecil, tak pernah mengenal ayahnya. Azan tumbuh sebagai anak mandiri dan sangat mencintai ibunya. Wanita yang berperan sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Wanita yang selalu membela Azan ketika diganggu teman-temannya. Wanita yang memberikannya kasih sayang yang tak didapatinya dari laki-laki yang disebut “ayah”. Hanya ibunya seorang yang memberinya kasih sayang. Hanya ibu yang menjaganya ketika sakit. Memeluknya ketika dia terjatuh. Mengobatinya ketika dia terluka. Menghiburnya ketia dia bersedih.
“anak haram… Anak haram…” ejek teman-temannya. waktu itu Azan berumur delapan tahun.
“aku bukan anak haram!” teriak Azan sambil menahan tangisnya.
“kalau kamu bukan anak haram, siapa ayahmu?”
Azan terdiam. Pertanyaan yang juga selalu dia tanyakan namun tidak pernah mendapat jawaban dari ibunya.
“ayah dimana? Kenapa ayah tidak pulang-pulang?”Tanya Azan dengan polos saat berumur lima tahun.
“ayahmu masih bekerja sayang. Nanti kalau sudah selesai pekerjaannya ayah akan pulang nak” jawab ibunya.
“tapi kapan bu’? kapan ayah pulang?”
Ibunya terdiam. Tak tahu mau menjawab apa. Dia sadar anaknya pasti akan mempertanyakan
ayahnya suatu saat nanti. Namun tak disangkanya secepat ini. Jauh didalam hatinya,  sebenarnya dia juga merindukan pria itu. Meskipun luka masa lalu masih basah dan terasa perih karena penghianatan, dia tak bisa membohongi kalau dirinya masih memendam rasa sayang.
*
 Azan duduk termenung dibawah pohon beringin besar di samping lapangan tak jauh dari sekolahnya. Terbayang kata-kata dari gurunya tadi. Ancaman akan dikeluarkan dari sekolah apabila tidak membayar SPP yang telah menunggak tiga bulan, semakin membuat dadanya sesak. Harapan dan cita-cita yang tinggi dari anak seorang tukang cuci rasanya selalu direnggut oleh tuntutan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi. Sebuah harapan yang hanya menjadi mimpi semu di negeri yang katanya “TANAH SURGA”.
Tak jauh darinya seorang lelaki paruh baya berjalan dengan langkah pelan penuh kehati-hatian. Goresan-goresan keriput memenuhi wajahnya. Bora. Begitu penduduk sekitar memanggilnya. Umurnya sekitar lima puluh tahun. Hidup susah, tinggal sendiri di sebuah gubuk reyot disamping sekolah, tanpa istri, anak atau sanak saudara. Namun begitu, dia sama sekali tidak mau dikasihani. Semua orang tahu dia adalah pekerja keras. Rajin berkebun dan hasil dari kebun itu dia makan sendiri.
“aku bisa berusaha sendiri!” teriaknya ketika ada warga yang mengantarkannya makanan. Sejak saat itu warga sekitar tak berani mengantarkan makanan kepadanya. Anak-anak takut kepadanya. Kegarangan kakek itu telah terkenal di seantoro desa. Pernah ada beberapa anak yang mengambil buah mangganya. Bora berteriak dan memarahi anak-anak itu. Beberapa berlari berhamburan dan yang masih berada diatas pohon di cungkilnya dengan kayu.
Menurut cerita penduduk sekitar, dulu keluarganya tergolong orang berada. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Sebagai anak tunggal, Bora sangat disayangi orang tuanya. Berperilaku baik dan tergolong murid yang cerdas disekolah. Dari kecil tidak pernah merasakan susah. Apa yang dimintanya selalu dituruti oleh orang tuanya.
Waktu umurnya enam belas tahun, secara mengejutkan ayahnya meninggal dunia. Tak berselang berapa lama ibunya menyusul menghadap yang maha kuasa. Cerita yang beredar orangtuanaya meninggal akibat guna-guna.
Semenjak itu hidupnya berubah. Harta warisan orangtuanya tak tahu kemana. tak punya biaya lagi akhirnya mau tidak mau harus putus sekolah saat kelas dua SMA. Cita-cita tingginya ingin menjadi dokter terkubur bersama jasad orangtuanya. hidup sendiri hingga tua dan tak menikah membuatnya seakan membenci kehidupan. Tak pernah tersenyum dan selalu cemberut.
Azan memperhatikan orang tua itu. Membayangkan kakek itu sebenarnya tak jauh beda dengan nasibnya. Kakek itu adalah salah satu bukti nyata bahwa di negeri ini, hanya orang kaya yang bisa sekolah. Hanya orang yang memiliki uang yang bisa sekolah. Pendidikan hanya untuk orang kaya dan berada. orang miskin tak punya hak yang sama. Hak yang seharusnya menjadi hak paling asasi warna Negara tak tersentuh kebijakan atau bahkan sengaja dilupakan. Kenyataan itu semakin membuatnya berkecil hati.
Dengan dada yang dipenuhi rasa khawatir membayangkan dirinya akan berakhir seperti nasib lelaki tua itu, Azan pulang kerumah. Didalam rumah berdinding papan yang sudah sangat memprihatinkan itu, Didapatinya ibu sedang terbaring lemas tak berdaya diatas tempat tidur. Sudah beberapa hari ini ibunya tidak bekerja. Badannya panas dan semakin kurus.
“sudah pulang zan?” Tanya ibunya ketika Azan membuka tirai kamar ibunya yang tak berpintu. Azan mengangguk seraya mendekati ibunya. Mencium tangan dan dahinya.
“ibu sudah makan?” tanyanya pelan.
Dengan mata agak terpejam ibunya mengangguk. Beberapa saat kemudian Azan keluar dari kamar ibunya dan menuju ke kamarnya untuk ganti baju. Betapa Azan sangat menyangi ibunya. Wanita yang telah membesarkannya seorang diri, berperan sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Wanita yang memasangkan kancing bajunya yang lepas, membuatkan telur mata sapi kesukaannya dan tak pernah mengeluh dengan nasib yang telah menghianatinya.  
Malamnya ketika habis sholat isya dia duduk disamping ibunya yang masih terbaring lemas, Azan membaca Al-qur’an dengan khusyu’. Suaranya merdu. Lengkungan tajwidnya terdengar indah. Ibunya mendengarkan dan perlahan air mata mengalir dari kedua matanya yang terpejam.
“lanjutkan nak. Ibu ingin mendengar kamu mengaji” kata ibunya dengan lirih ketika Azan hendak mengakhiri bacaan qur’annya. Azan kemudian meneruskan bacaannya sampai ibunya tertidur.
*
            Azan duduk termenung di beranda rumahnya. Matanya bengkak. Merah. Tak disangka malam itu adalah saat terakhir ibunya mendengar dia mengaji. Ibunya telah mengahadap tuhan. Kini dia benar-benar merasa sendiri. Putus asa. Tak tahu harus berbuat apa ketika didapatinya satu-satunya orang yang membuatnya tetap semangat menjalani kehidupan yang keras ini harus pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Satu lagi anak negeri yang harus kehilangan semangat meraih cita-cita tinggi akibat kemiskinan. Pembangunan hanya dilakukan dikota-kota besar untuk meningkatkan gengsi Bangsa sementara rakyat kecil masih saja menghadapi ketidak jelasan nasib akibat kemiskinan.


Keterangan :Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba “Menulis cerpen Mahasiswa se-provinsi Gorontalo” pada tahun 2016 dan masuk daftar lima belas besar naskah terbaik dari 45 perserta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Titik Koma (;)

Padamkan amarahmu atas dunia yang sulit direka juga komentar-komentar itu. Cepat atau lambat kau hanya harus memilih; Pulang tapi tak kem...