Pemuda
itu duduk terpaku di dalam kelas. Tangan kanannya menggenggam surat peringatan
dan tangan kirinya menggenggam tas plastik berisi uang sepuluh ribuan dan
beberapa uang receh. Hasil kerja keras membanting tulang sebagai buruh tani,
menanam, mencangkul, lelah, berkeringat, berjemur. Masih belum cukup juga.
Untuk
ketiga kalinya diminggu ini dia menerima surat yang sama. semuanya Berisi
peringatan agar segera melunaskan uang SPP. Pandangannya kosong. Jauh didalam
sana, di hati yang paling dalam berkobar api semangat belajar yang seakan mulai
redup perlahan diterpa angin kenyataan. Kenyataan di Negara yang katanya sudah
merdeka sejak 70 tahun lalu. masih saja
ada rakyat yang berjuang melawan kerasnya hidup demi pendidikan. Amanat Negara
bahwa semua warga Negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, masih jauh
dari kenyataan.
Lonceng
berdering. Sebuah SMA yang terletak di ujung desa yang tidak
terdapat dipeta versi manapun, mendadak ramai dengan puluhan siswa-siswi yang
keluar dari kelas.
“Azan!” teriak seorang anak muda yang
berbadan tegap dan berperawakan sangar
kepada seorang anak muda lain yang berjalan tak jauh darinya.
Azan menoleh. Sesaat kemudian dia segera
membalikkan wajahnya dan langsung melangkah cepat kearah gerbang sekolah. Tanpa
menoleh lagi kebelakang dia semakin mempercepat langkahnya. Anak yang
memanggilnya tadi adalah Wanto. Teman sekelas Azan, Preman sekolah sekaligus
murid paling setia alias tidak naik kelas, tiga kali berturut-turut. Berbagai
macam julukan disematkan di belakang namanya. Yang paling sering dipakai adalah
Destroyer.
Belum hilang
memar dipipi Azan Hadiah pemberian wanto karena Azan tidak memberinya jawaban
saat ujian fisika minggu lalu. Sebagai seorang siswa yang berasal dari keluarga
kurang mampu (penghalusan kata miskin),
Azan selalu mendapat ejekan dari teman-temannya.
*
Dibesarkan oleh ibunya sejak
kecil, tak pernah mengenal ayahnya. Azan tumbuh sebagai anak mandiri dan sangat
mencintai ibunya. Wanita yang berperan sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Wanita
yang selalu membela Azan ketika diganggu teman-temannya. Wanita yang memberikannya kasih
sayang yang tak didapatinya dari laki-laki yang disebut “ayah”. Hanya ibunya
seorang yang memberinya kasih sayang. Hanya ibu yang menjaganya ketika sakit.
Memeluknya ketika dia terjatuh. Mengobatinya ketika dia terluka. Menghiburnya
ketia dia bersedih.
“anak haram… Anak haram…”
ejek teman-temannya. waktu itu Azan berumur delapan tahun.
“aku bukan anak haram!”
teriak Azan sambil menahan tangisnya.
“kalau kamu bukan anak
haram, siapa ayahmu?”
Azan terdiam. Pertanyaan
yang juga selalu dia tanyakan namun tidak pernah mendapat jawaban dari ibunya.
“ayah dimana? Kenapa ayah
tidak pulang-pulang?”Tanya Azan dengan polos saat berumur lima tahun.
“ayahmu masih bekerja sayang.
Nanti kalau sudah selesai pekerjaannya ayah akan pulang nak” jawab ibunya.
“tapi kapan bu’? kapan ayah
pulang?”
Ibunya terdiam. Tak tahu mau menjawab apa. Dia sadar
anaknya pasti akan mempertanyakan
ayahnya suatu saat nanti.
Namun tak disangkanya secepat ini. Jauh didalam hatinya, sebenarnya dia juga merindukan pria itu.
Meskipun luka masa lalu masih basah dan terasa perih karena penghianatan, dia
tak bisa membohongi kalau dirinya masih memendam rasa sayang.
*
Azan duduk termenung
dibawah pohon beringin besar di samping lapangan tak jauh dari sekolahnya. Terbayang kata-kata
dari gurunya tadi. Ancaman akan dikeluarkan dari sekolah apabila tidak membayar
SPP yang telah menunggak tiga bulan, semakin membuat dadanya sesak. Harapan dan
cita-cita yang tinggi dari anak seorang tukang cuci rasanya selalu direnggut
oleh tuntutan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi. Sebuah harapan yang hanya menjadi mimpi semu di negeri
yang katanya “TANAH SURGA”.
Tak
jauh darinya seorang lelaki paruh baya berjalan dengan langkah pelan penuh
kehati-hatian. Goresan-goresan keriput memenuhi wajahnya. Bora. Begitu penduduk
sekitar memanggilnya. Umurnya sekitar lima puluh tahun. Hidup susah, tinggal
sendiri di sebuah gubuk reyot disamping sekolah, tanpa istri, anak atau sanak saudara.
Namun begitu, dia sama sekali tidak mau dikasihani. Semua orang tahu dia adalah
pekerja keras. Rajin berkebun dan hasil dari kebun itu dia makan sendiri.
“aku
bisa berusaha sendiri!” teriaknya ketika ada warga yang mengantarkannya
makanan. Sejak saat itu warga sekitar tak berani mengantarkan makanan
kepadanya. Anak-anak takut kepadanya. Kegarangan kakek itu telah terkenal di
seantoro desa. Pernah ada beberapa anak yang mengambil buah mangganya. Bora
berteriak dan memarahi anak-anak itu. Beberapa berlari berhamburan dan yang
masih berada diatas pohon di cungkilnya dengan kayu.
Menurut
cerita penduduk sekitar, dulu keluarganya tergolong orang berada. Ayahnya
adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Sebagai anak tunggal, Bora sangat
disayangi orang tuanya. Berperilaku baik dan tergolong murid yang cerdas
disekolah. Dari kecil tidak pernah merasakan susah. Apa yang dimintanya selalu
dituruti oleh orang tuanya.
Waktu
umurnya enam belas tahun, secara mengejutkan ayahnya meninggal dunia. Tak
berselang berapa lama ibunya menyusul menghadap yang maha kuasa. Cerita yang beredar
orangtuanaya meninggal akibat guna-guna.
Semenjak
itu hidupnya berubah. Harta warisan orangtuanya tak tahu kemana. tak punya
biaya lagi akhirnya mau tidak mau harus putus sekolah saat kelas dua SMA.
Cita-cita tingginya ingin menjadi dokter terkubur bersama jasad orangtuanya.
hidup sendiri hingga tua dan tak menikah membuatnya seakan membenci kehidupan.
Tak pernah tersenyum dan selalu cemberut.
Azan
memperhatikan orang tua itu. Membayangkan kakek itu sebenarnya tak jauh beda
dengan nasibnya. Kakek itu adalah salah satu bukti nyata bahwa di negeri ini,
hanya orang kaya yang bisa sekolah. Hanya orang yang memiliki uang yang bisa
sekolah. Pendidikan hanya untuk orang kaya dan berada. orang miskin tak punya
hak yang sama. Hak yang seharusnya menjadi hak paling asasi warna Negara tak
tersentuh kebijakan atau bahkan sengaja dilupakan. Kenyataan itu semakin
membuatnya berkecil hati.
Dengan
dada yang dipenuhi rasa khawatir membayangkan dirinya akan berakhir seperti
nasib lelaki tua itu, Azan pulang kerumah. Didalam rumah berdinding papan yang
sudah sangat memprihatinkan itu, Didapatinya ibu sedang terbaring lemas tak
berdaya diatas tempat tidur. Sudah beberapa hari ini ibunya tidak bekerja.
Badannya panas dan semakin kurus.
“sudah pulang zan?” Tanya
ibunya ketika Azan membuka tirai kamar ibunya yang tak berpintu. Azan
mengangguk seraya mendekati ibunya. Mencium tangan dan dahinya.
“ibu sudah makan?” tanyanya
pelan.
Dengan
mata agak terpejam ibunya mengangguk. Beberapa saat kemudian Azan keluar dari
kamar ibunya dan menuju ke kamarnya untuk ganti baju. Betapa Azan sangat
menyangi ibunya. Wanita yang telah membesarkannya seorang diri, berperan
sebagai ibu sekaligus ayah baginya. Wanita yang memasangkan kancing bajunya
yang lepas, membuatkan telur mata sapi kesukaannya dan tak pernah mengeluh
dengan nasib yang telah menghianatinya.
Malamnya
ketika habis sholat isya dia duduk disamping ibunya yang masih terbaring lemas,
Azan membaca Al-qur’an dengan khusyu’. Suaranya merdu. Lengkungan tajwidnya
terdengar indah. Ibunya mendengarkan dan perlahan air mata mengalir dari kedua
matanya yang terpejam.
“lanjutkan nak. Ibu ingin
mendengar kamu mengaji” kata ibunya dengan lirih ketika Azan hendak mengakhiri
bacaan qur’annya. Azan kemudian meneruskan bacaannya sampai ibunya tertidur.
*
Azan duduk termenung di beranda rumahnya. Matanya
bengkak. Merah. Tak disangka malam itu adalah saat terakhir ibunya mendengar
dia mengaji. Ibunya telah mengahadap tuhan. Kini dia benar-benar merasa
sendiri. Putus asa. Tak tahu harus berbuat apa ketika didapatinya satu-satunya
orang yang membuatnya tetap semangat menjalani kehidupan yang keras ini harus
pergi meninggalkannya untuk selamanya.
Satu
lagi anak negeri yang harus kehilangan semangat meraih cita-cita tinggi akibat
kemiskinan. Pembangunan hanya dilakukan dikota-kota besar untuk meningkatkan
gengsi Bangsa sementara rakyat kecil masih saja menghadapi ketidak jelasan
nasib akibat kemiskinan.
Keterangan :Cerpen ini pernah diikutkan dalam lomba
“Menulis cerpen Mahasiswa se-provinsi Gorontalo” pada tahun 2016 dan masuk
daftar lima belas besar naskah terbaik dari 45 perserta.